Apakah Gempuran Israel ke Gaza Palestina Langgar Hukum Internasional?


Jakarta, CNN Indonesia —

Perang antara Hamas Palestina dan Israel hingga kini terus berkobar dan memakan banyak korban jiwa, yang sebagian besar merupakan anak-anak.

Gempuran Israel banyak yang menyasar perumahan sipil hingga fasilitas kesehatan di Gaza, termasuk rumah sakit. 

Sejumlah rumah sakit utama seperti Rumah Sakit Al Quds, RS Syifa, hingga RS Indonesia di Gaza hampir kena bombardir Israel hingga merusak sebagian bangunan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rumah Sakit Baptis Al Ahli juga pernah dirudal Israel pada 17 Oktober lalu, yang menewaskan setidaknya 300 orang.

Per Senin (30/10), Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan korban tewas di Gaza mencapai 8.306 jiwa, dengan 3.457 di antaranya anak-anak.

Save the Children melaporkan jumlah anak-anak yang tewas di Palestina sejak 7 Oktober ini lebih banyak ketimbang total jumlah anak-anak yang tewas dalam konflik di seluruh dunia setiap tahunnya sejak 2019 lalu.

Di tengah serbuan intens ini, ribuan warga Palestina didesak mengungsi ke selatan Gaza melalui rute-rute yang tidak aman. Kondisi ini jelas sangat berisiko bagi anak untuk bergerak secara cepat di jalan-jalan yang hancur dan diiringi hujan bom.

Gempuran Israel ke Jalur Gaza ini merupakan balasan Tel Aviv atas serangan dadakan Hamas termasuk penyanderaan ratusan warga pada 7 Oktober lalu.

Lebih dari 1.400 orang tewas dari pihak Israel sejak perang dengan Hamas pecah. Selain itu, sekitar 240 orang dari Israel masih disandera Hamas.

Jadi, apakah gempuran membabi buta Israel ini melanggar hukum internasional?

[Gambas:Video CNN]

Berperang bukan berarti melancarkan serangan secara membabi buta seenaknya. Dalam hukum internasional terdapat beberapa aturan dan hukum yang mengatur suatu negara yang sedang terlibat peperangan, salah satunya soal perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata termasuk anak-anak.

Pilar utama perlindungan bagi anak-anak dalam konflik bersenjata terdapat dalam Konvensi Jenewa.

Konvensi Jenewa adalah inti dari hukum humaniter internasional. Empat konvensi yang termaktub di dalamnya diadopsi melalui serangkaian perjanjian antara tahun 1864 sampai 1949.

Konvensi keempat Jenewa diadopsi pada 1949 setelah Perang Dunia II, yang berfokus memprioritaskan perlindungan kepada warga sipil, termasuk di wilayah pendudukan atau penjajahan.

Pada 6 Juli 1951, Israel meratifikasi Konvensi Jenewa. Tel Aviv menjadi satu dari 196 negara yang telah melakukannya.

Beberapa pasal dan protokol tambahan, khususnya dalam konvensi keempat Konvensi Jenewa, memberikan perlindungan kepada anak-anak selama masa perang.

Ini termasuk membangun rumah sakit dan zona aman untuk anak-anak di bawah usia 15 tahun; memastikan akses ke bahan makanan penting, pakaian, dan obat-obatan bagi anak-anak di daerah yang dikepung; hingga perawatan khusus bagi anak-anak yatim piatu atau terpisah dari keluarganya.

Kemudian mengevakuasi anak-anak ke daerah aman dan menyatukan mereka dengan keluarganya; serta memastikan kesediaan pemuka agama, petugas medis, dan peralatan medis ketika sudah mengevakuasi anak-anak.

Menurut asisten profesor di College of Law Universitas Hamad bin Khalifa, Ka Lok Yip, pasal dan protokol tambahan yang umumnya mengenai bantuan kemanusiaan dan dukungan medis juga berlaku untuk perlindungan anak-anak.

“Sumber utama perlindungan bagi anak-anak dalam konflik bersenjata berasal dari status anak-anak sebagai ‘warga sipil’ dengan asumsi bahwa mereka tidak terlibat dalam pertikaian,” kata Lok Yip.

Berlanjut ke halaman berikutnya >>>


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *